Refleksi Film India : Three Idiots

0

 

Identitas Film  :

Judul              :  3 Idiots

Sutradara      :  Rajkumar Hirani

Dirilis             : 25 Desember 2009

Refleksi Film India :  Three Idiots

            Film Three Idiots dengan pemeran utama yang bernama Rancho telah mengkritisi dunia pendidikan di India. Ada banyak hal yang dapat kita petik dari film ini termasuk bagaimana agar kita dapat menjalani dan menikmati perkuliahan sehingga kita bisa menjadi pribadi yang unggul.

            Di sini ada beberapa point yang dapat saya berikan dalam mengambil hal yang positif dari film ini :

  1. Berani menentang senior yang salah. Hal ini dilakukan Rancho ketika kakak tingkatnya memberikan orientasi dengan cara yang salah seperti perploncoan.
  2. Mempraktikan ilmu yang sudah bertahun-tahun dipelajari, jadi bukan hanya mendapatkan ilmu dan dilupakan.
  3. Berani mengemukakan pendapat terhadap dosen maupun teman.
  4. Tidak perlu menggunakan bahasa yang begitu sempurna untuk mendefinisikan sesuatu tetapi “paham” apa yang dimaksud.
  5. Terhadap masalah sebesar apapun, kita harus bisa optimis bahwa semuanya akan baik-baik saja. (All is well)
  6. Simpati bahkan empati kepada teman yang sedang berduka dan berjuang untuknya.
  7. Jangan mengejar kesuksesan teapi kejar keunggulan, maka kesuksesan akan datang menghampiri.
  8. Mengikuti talenta yang kita miliki, maka dalam mengerjakan pekerjaan kita akan menikmatinya karena itu merupakan passion.
  9. Tidak pernah takut pada hari esok.
  10. Memiliki keberanian walaupun hanya sedikit karena itu dapat mengubah hidup kita menjadi lebih baik.
  11. Membuat obsesi kita menjadi profesi. Hal ini dilakukan oleh teman Rancho yang bernama Farhan untuk mengikuti profesinya sebagai photographer bukan insinyur.

Sejarah Kekristenan Saya

0

 

Sejarah Kekristenan Saya (Silviany Theresia)

Seperti yang telah dibahas dalam mata kuliah Sejarah Agama Kristen pada pertemuan pertama, dalam sejarah dapat dilihat berdasarkan 2 hal.

Di sini saya ingin menceritakan asal usul saya terlebih dahulu. Secara keturunan, orang tua dari ibu saya mempunyai kepercayaan yang berbeda. Nenek saya yang bernama Lin Swin Wa memiliki kepercayaan Tionghoa sedangkan kakek saya yang bernama Suparman berasal dari keluarga muslim. Ibu saya sejak dilahirkan sampai dengan kelas 5 SD memiliki pergumulan dengan keyakinannya. Karena walaupun agama ibu saya ditulis Islam di dalam Surat Keterangan Keluarga pada waktu itu, tetapi ibu saya seperti merasa diombang-ambingkan oleh keluarganya sendiri. Mengingat, jika ibu saya pergi beribadah di Klenteng, maka keluarga dari ayahnya memarahinya. Hal ini juga terjadi sebaliknya, jika ibu saya pergi beribadah ke musholla atau masjid maka keluarga dari ibunya memarahinya.

Ketika ibu saya duduk di bangku kelas 5 SD, ibu saya sering diajak oleh temannya yang beragama Kristen untuk beribadah di gereja. Awalnya ibu saya hanya ikut-ikutan, namun setelah ibu saya merasakan perhatian yang jauh lebih besar diberikan oleh orang-orang GKJW pada saat itu, ibu saya semakin tegerak untuk terlibat dalam pelayanan hingga akhirnya memutuskan untuk dibabtis menjadi  Kristen dan meyakini ajaran agama Kristen. Di situ, ibu saya menuai banyak tentangan baik dari keluarganya maupun teman-temannya yang mengejeknya “murtad”. Namun, seiring berjalannya waktu, satu per satu keluarga dari ibu saya mulai dari saudara ibu saya sampai dengan orang tuanya memutuskan untuk memeluk Kristen sebagai agamanya.

Pada tahun 1997, ketika ibu saya berumur 29 tahun, saya dilahirkan. Saya dibabtis secara Kristen pada saat saya berumur 1,5 tahun. Sejak saya kanak-kanak saya mulai belajar untuk mengetahui Kristen semakin dalam. Saya suka untuk membaca Alkitab bergambar dan video Tuhan Yesus sejak dalam kandungan Bunda Maria, tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang luar biasa yang bisa melakukan banyak mukjizat dan memberitakan Firman Allah sejak Ia kecil sampai ketika Ia harus menjalani penderitaan dengan menebus dosa manusia di atas kayu salib, kemudian bangkit dan naik ke sorga.

Ketika katekisasi, saya semakin memantabkan iman saya, dan di saat sidhi atau pendewasaan iman, saya bertanggung jawab atas kepercayaan saya sendiri. Namun ada berbagai tentangan mengenai agama saya dari tahun ke tahun yang semakin saya dengar, dengan itu, saya memutuskan untuk berkuliah demi lebih mendalami apa yang sebenarnya ingin diperkatakan oleh keyakinan saya sekaligus membawa diri saya untuk melayani Tuhan dan sesama dalam masa muda atau bahkan jika Tuhan berkenan dalam masa hidup saya.

 

Puisi “Luther”

0

Puisi oleh Silviany Theresia Santoso

Luther

Ketika guruh dan halilintar menyapa

Kau ucapkan sebuah janji

Janji yang membuka hidup baru

Tuk berjalan  dekat denganNya

 

Tetapi guncangan iman

Membuatmu terasa jauh dariNya

Kau berpikir seolah sia-sia

Kedamaian tidaklah dapat kau rengkuh

Hingga terjawab semua yang kau cari

Injil Allah … penyelamat manusia

 

Pemberontakan

Atas jeratan hidup penguasa

Atas kemewahan duniawi

Atas wewenang mutlak Roma

Dan segala penyimpangan

Tidak sadarkah mereka yang melawanmu ?

 

Kau  berjuang bagi kebebasan

Kau berikan kobaran api

Atas kecaman tak terelakkan sang penguasa

Keberanianmu membuka harapan baru

Bagi kami umat Kristen Protestan sepanjang masa

Olehmu kita dapat bersuara dan bernyanyi

 

Luther… meski kau bukan yang terutama

Kau telah berjaya atas kehidupan kami semua

 

Perintis-Perintis Reformasi serta Renaissance dan Humanisme

0

Laporan Baca oleh Silviany Theresia Santoso

Identitas Buku

Judul                           : Sejarah Gereja

Pengarang                  : Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar

Penerbit                      : BPK Gunung Mulia

Jumlah halaman        : (hlm. 96-101) 6 halaman

Perintis-Perintis Reformasi serta Renaissance dan Humanisme

Di dalam laporan kali ini, kita akan melihat adanya aliran yang merasuki perkembangan budaya pada masa reformasi. Ini adalah ciri-ciri suatu zaman yang disebut sebagai zaman pencerahan. Bagi Para Perintis Reformasi, Alkitab menjadi satu-satunya kaidah dalam ajaran dan tindakannya. Berdasarkan Alkitab, ada beberapa perintis reformasi yang melancarkan kritiknya terhadap kesalahan gereja.

Wiclif adalah seorang juru bicara perlawanan nasional terhadap pemerintahan paus. Ia beranggapan bahwa gereja haruslah hidup sederhana dan miskin di mana tidak diperbolehkan memiliki kekayaan duniawi. Di sini ia juga melawan pandangan Gereja Roma, di mana ia sangat mengkritik susunan gereja yang hierarkis, memandang kepausan sebagai antikrist sendiri, dan sebagainya. Wiclif sangatlah dicintai oleh kaum rakyat. Hal inilah yang membuatnya tidak pernah dianiaya sampai ia meninggal. Namun para pengikutnya yang disebut Lollard (pengkhotbah yang diutusnya menjelajah daerah-daerah di Inggris) mendapatkan hambatan hingga hampir dimusnahkan.

Kemudian, Johannes Hus yang merupakan seorang guru besar meneruskan ajaran Wiclif kepada mahasiswanya dan kepada umat Kristen di Bohemia. Seluruh daerah ini kemudian memberontak melawan Roma. Hal ini karena adanya ajaran baru dan cita-cita orang-orang Ceko yang tidak ingin dikuasai lagi oleh orang Jerman dan Gereja Roma.[1] Di sini Di sini Hus tetap pada ajarannya dan tidak mau menarik kembali ajarannya hingga ia dihukum mati dan dibakar hidup-hidup. Selanjutnya terjadilah perang Husit di mana orang Husit melawan raja dan gereja. Namun pada akhirnya peperangan dapat diakhiri.

Di sisi lain, Savonarola seorang perintis reformasi ketiga lebih berpengaruh di kota Florensa (Italia) saja. Di sini ia juga mematikan kehidupan duniawi, ia pun menyerang Paus Aleksander VI. Namun atas perintah paus, ia ditangkap oleh inkwisi, disiksa, dan dibakar. [2]

Kita dapat melihat bahwa kekuatan ketiga perintis ini terletak dalam sikapnya yang keras terhadap sekularisasi gereja.[3] Inti pokok Injil yang diberikan yaitu manusia dibenarkan hanya oleh karena iman dan bukan oleh amal manusia sendiri. Namun hal ini sebenarnya belum dapat dipahaminya.

Beralih pada Renaissance dan Humanisme. Renaissance adalah kelahiran kembali dari kebudayaan kuno. Pusat pergerakannya di Florensa dan Roma. Sedang humanisme yaitu peradaban yang diperoleh dari kebudayaan kuno. Di sini para filsuf menyelidiki dan memeriksa sejarah gereja dengan cermat mungkin dapat dikatakan lebih dikaji secara ilmiah. Namun di sini renaissance tidak bermaksud melawan gereja. Renaissance hanya tidak menyadari bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara cita-cita baru dengan semangat Gereja Kristus.

Seorang tokoh humanis yang paling termahsyur yaitu Erasmus memiliki pandangan yang merupakan campuran dari pandangan-pandangan Yunani Romawi dengan ajaran Injil. Ia sendiri disebut sebagai bapa aliran kekristenan yang serba bebas (liberal). Baginya, ajaran filsafat kafir tentang logos hanya disempurnakan oleh Injil dan teologia Kristen. Gereja harus makin dipengaruhi oleh semangat humanis sehingga gereja dapat berbalik pada kesuciannya yang semula.

Dari semua ini kita melihat bahwa pandangan yang mengatakan bahwa renaissance dan reformasi berada pada satu arah adalah sebuah kesalahan. Sebab renaissance sama sekali tidak mengakui kuasa lain selain akal budi manusia sendiri. Sedangkan reformasi menekankan bahwa kuasa Tuhan diakui dan juga dihormati. [4]

Bagi saya sampai saat ini pun renaissance sendiri tetap ada sebagai bentuk kelahiran semangat menggunakan akal budi manusia seoptimal mungkin. Hal ini tentu saja dapat berdampak negatif juga apabila terlalu berlebihan. Karena manusia hanya akan mencari keuntungan dan pertahanan dirinya dengan melupakan tujuan hidup yang sebenarnya yaitu yang datang dan kembali kepada Tuhan. Alangkah baiknya jiwa semangat humanisme yang menjunjung akal budi berjalan beriringan dengan pengakuan bahwa segala sesuatu yang ada adalah rahmat dari Tuhan yang harus diolah, diperbaiki, dan dikembangkan.

Sumber :

[1] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1986), 97

[2] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 98

[3] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 99

[4] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 101

Zaman Agustinus hingga Pertikaian Karena Adanya Sekularisasi

0

Laporan Baca oleh Silviany Theresia Santoso

Identitas Buku

Judul                           : Sejarah Gereja

Pengarang                  : Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar

Penerbit                      : BPK Gunung Mulia

Kota terbit                  : Jakarta

Tahun terbit               : 1986

Cetakan                       : 5

Jumlah halaman        : (hlm. 60-96) 37 halaman

Kita akan melihat adanya 10 poin pembahasan yang tertulis dalam laporan baca ini. Hal yang dibahas adalah kelanjutan dari pembahasan minggu lalu. Poin pertama yang kita tuju ialah mengenai zaman Augustinus (354-430), di mana ia ikut dalam memberikan pengaruh di segenap gereja sampai saat ini.[1] Di masa remajanya, ia mulai mencari kebenaran yang satu-satunya. Ia mulai mengikuti sekte Manicheisme, tetapi hatinya tidak dipuaskan oleh ajaran ini. Suatu waktu, Ia mulai masuk kebaktian Gereja untuk mendengarkan khotbah Ambrosius. Di sini, ia juga mulai mempelajari filsafat Neo-Platonisme yang membawanya lebih dekat kepada agama Kristen. Hingga akhirnya ia mendapatkan kebenaran yang ia cari dalam Injil Gereja Kristen. Pada umur 33 tahun ia dibabtiskan. Kemudian ia menjadi uskup (395) dan di tempat Ia menghabiskan sisa waktunya ia menjadi pemimpin besar dari Gereja bagian barat. Di sini ia memperbaharui theologia Gereja sambil mempengaruhi banyak pemuka Gereja di daerah lain. Di sini Ia juga berhasil untuk meniadakan ajaran Donatis yang bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik dan memberikan kontribusi pikiran yang luar biasa mengenai relasi gereja dan negara.

Melihat masa itu, di pembahasan selanjutnya kita menjumpai adanya kesenian Kristen dalam gereja lama yaitu Katakombe dekat Roma (mengenai kuburan) dan Basilika (mengenai gedung kehakiman dan perniagaan dalam kekaisaran Romawi).[2] Malihat lebih jauh, dengan melihat perpindahan bangsa-bangsa dari satu tempat ke tempat yang lain menimbulkan Gereja Barat menempuh jalan yang baru. Mulai munculah kepausan di mana ketika Roma tidak lagi berkuasa, Gereja Katoliklah yang menggantikan negara, dan uskuplah yang menggantikan kaisar sebagai tokoh yang tertinggi. [3]

Beralih pada perkabaran Injil di Eropa, kita menjumpai beberapa tokoh yang memiliki aturan masing-masing dalam kekuasaannya, salah satunya adalah pada masa pemerintahan Karel Agung yang memaksakan agar orang-orang masuk Agama Kristen, sebab jika tidak maka mereka dihukum mati. Hal ini tentu saja lebih mengarah kepada hubungan Allah dan manusia dalam suasana kehakiman. Di sini gereja juga lebih bercorak Gereja-negara, Paus dihormati oleh Karel tetapi tidak diberi kuasa mencampuri urusan gereja. Raja sendirilah yang memerintahi Gereja, hal ini dilihatnya sebagai contoh dari Raja Daud. Raja Karel di sini tidak bermaksud untuk menggunakan kekuasaannya sewenang-wenang melainkan untuk melayani dan membangun Gereja sedapat-dapatnya. [4]

Di sisi Paus sendiri, terdapat beberapa pertikaian yang kita bisa lihat dalam Bab 22. Mulai dari Otto I, yang memperlihatkan bahwa kepentingan politiklah yang diutamakan oleh kaisar dan bukan kepentingan gereja hingga putusan kompromi yang dibuat. Dalam perjuangan merebut Yerusalem, kita menjumpai adanya perang salib yang dilakukan namun justru perang salib tersebut seringkali gagal hingga akhirnya Yerusalem jatuh ke tangan Islam. Namun dari perang ini kita mengetahui adanya pengaruh kebudayaan dan perluasan relasi antara barat dengan timur.

Di keadaan selanjutnya gereja mengalami sekularisasi. Namun Benhard dari Clairvaux justru memperlihatkan dirinya yang tetap setia pada hidupnya yang miskin yang memberikan kritik tegas pada sekularisasi gereja tersebut. Dalam melihat puncak pemerintahan Paus, di sini Paus diakui sebagai satu-satunya penguasa di dalam Gereja. Dialah pengurus hakim yang tertinggi, istana paus menjadi bank uang terkaya di dunia dan bahkan Simoni sekarang dilakukan oleh pembesar-pembesar Gereja sendiri. [5]

Melihat hal ini ada beberapa sekta yaitu Kathar dan Waldens yang masih tetap berteguh kepada Alkitab dan memberikan tuntutan supaya Gereja berbalik kepada kemiskinan rasuli. Dalam menanggapi hal ini akhirnya cita-cita kemiskinan diterima oleh Gereja. Di sini timbulah bermacam-macam ordo-ordo sebagai bukti bahwa cita-cita theokrasi dapat digabungkan dengan penyangkalan dunia dan askese. Perkembangan selanjutnya, perlawanan mulai dilakukan terhadap pemerintahan Paus. Dan rupa-rupanya yang menang ialah negara-negara yang mencampuri pimpinan gereja. Gereja Katolik yang am terbagi-bagi dalam beberapa Gereja kebangsaan meskipun paus tetap tinggal sebagai kepala Gereja. Namun, di sini terlihat bahwa paus hanya berkuasa di Jerman saja. Sesudah konsili-konsili keadaan gereja justru mengalami kemerosotan sangat dalam di mana mereka yang ada di istana paus Aleksander VI Borgia hidup dalam nikmat duniawi. [6]

Persoalan yang saya perhatikan di sini adalah sekularisme gereja, bercermin dari pertikaian yang terjadi mengenai diri seorang Paus seolah menggambarkan sosok Pendeta yang juga menuai cek-cok saat ini. Pertikaian terjadi antar satu dogma gereja dengan dogma gereja yang lain. Pernah saya jumpai bahwa seorang jemaat awam bertanya mengenai katakanlah seorang Pendeta yang menggamarkan seorang  Paus (dalam laporan baca ini) haruslah dari seorang yang berlatar belakang kaya sehingga ia tidak haus akan uang melainkan menjadikan pelayanannya sebagai pemberian ketulusan dan prioritas utama, ada pula yang mengatakan bahwa siapa pun bisa menjadi pendeta dan uang memang selayaknya diberikan kepada pendeta sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang diberikan karena pendeta tentu saja juga manusia yang memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.  Lalu di sini siapa yang dapat memberikan jalan tengah agar pertikaian seperti ini tidak terus-menerus terjadi?

Sumber

[1] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1986), 61

[2] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 72

[3] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 73

[4] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 78

[5] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 88

[6] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 96

Beberapa Pokok Pembahasan Mengenai Teologia Gereja Lama dengan Persoalannya

0

Laporan Baca oleh Silviany Theresia Santoso

Identitas Buku

Judul                           : Sejarah Gereja

Pengarang                  : Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar

Penerbit                      : BPK Gunung Mulia

Kota terbit                  : Jakarta

Tahun terbit               : 1986

Cetakan                       : 5

Jumlah halaman        : (hlm. 30-60) 31 halaman

 Di dalam Laporan Baca ini kita diajak untuk melihat beberapa sub materi pokok yang telah terbagi menjadi 8 bab yaitu : Gereja Katolik yang lama, theologia gereja lama, pergaulan hidup di dalam gereja lama, gereja dan dunia : penghambatan dan perdamaian, gereja-negara, pertikaian tentang logos, perselisihan tentang kedua tabiat Kristus, dan Gereja Ortodoks-Timur.

Pada pembahasan pertama, dijelaskan dasar dan keadaan gereja yang lama. Dari segi kebaktian, Gereja ternyata semakin dipengaruhi oleh suasana kafir di mana terdapat dua pandangan kafir yang menguasai kebaktian Kristen pada masa itu terutama Perjamuan Kudus. [1]  Selain itu babtisan Kristen pun diartikan salah, di mana babtisan dianggap sebagai penyucian diri dan pengusiran setan dari segala pengaruhnya. Dalam abad ke-II, gereja juga mulai berkembang dengan adanya perayaan tahunan yaitu Pentakosta, Paskah, Epiphanias dan Natal.

Dari segi disiplin gereja, masalah ini dipecahkan di Barat, di mana Montanisme ditolak. Gereja memberikan pemahaman yang baru bahwa gereja bukan hanya berisi orang-orang yang suci tetapi juga orang-orang berdosa yang apabila melakukan kesalahan mereka tetap bisa diampuni dan masuk dalam gereja untuk mengadakan pertobatan. Pusat organisasi sendiri adalah uskup, yang mengepalai jemaat dalam berbagai kegiatan ibadah maupun pemerintahan. Dan yang paling penting adalah Uskup Roma, sebab di sana terdapat jemaat Kristen yang terbesar dan terkaya, serta alasannya lainnya Petrus dan Paulus mati syahid di sana.

Dalam Theologia Gereja lama, kita menjumpai adanya golongan apologet yang berusaha untuk menyesuaikan Injil dengan semangat zaman di mana Injil menggenapi cita-cita filsafat Yunani. Tetapi di sini, Kristus lebih diletakkan sebagai teladan dan bukan Juruselamat. Di sisi lain, Irenius dalam melawan gnostik menitikberatkan pada pandangan mengenai akibat dosa yaitu kefanaan dan akibat rahmat yaitu hidup yang baka. Hal inilah yang mempengaruhi gereja timur dalam menekankan Hari Kebangkitan Yesus sebagai pesta termulia. Origenes yang merupakan murid dari Clemens menjelaskan juga pandangannya namun pandangannya hanyalah campuran ajaran Alkitab dengan filsafat Plato. Ajarannya berkembang dan menjadi puncak kekafiran Helenisme.

Di dalam Gereja lama, pokok-pokok penting sangatlah diperhatikan yaitu dalam hal derajat kebajikan untuk membuktikan kesucian agama, hal rumah tangga di mana pernikahan haruslah kasih-mengasihi dan tidak boleh ada perceraian, hal milik dan perbudakan di mana ada pembedaan antara yang kaya dan miskin, hal pengamalan yang diberikan kepada orang miskin, janda, orang tua-tua, dan sebagainya serta hal perawatan yang diserahkan kepada janda-janda dan pemeliharaan hidup yang menjadi tugas syamas-syamas.[2]

Semakin gereja berkembang, ada hambatan-hambatan yang dilalui di mana kaisar mulai menganiaya orang-orang Kristen untuk mendapatkan kembali anugerah dewa dan menjamin ketentraman negara di waktu mendatang. Namun suasana membaik ketika Constantinus Agung berkuasa, di mana gereja mendapatkan kebebasan sepenuh-penuhnya, bahkan segala milik yang telah dirampas oleh negara, harus dikembalikan atau dibayar. [3]Pada tahun 380 Gereja diresmikan menjadi Gereja-negara oleh kaisar Theodosius. Di sini dunia dimasehikan dan gereja diduniawikan. Gereja-negara disusun berdasarkan badan hukun yang berpusatkan di istana kaisar.[4]

Melihat kondisi gereja sendiri, tampak perbedaan pendapat antara Gereja di bagian timur dengan barat. Hal ini tampak pada permasalahan mengenai trinitas. Perselisihan juga terjadi dalam menanggapi kedua tabiat Kristus dari berbagai pihak. Namun akhirnya tercapailah suatu keputusan kompromi (jalan tengah) mengenai kedua tabiat Kristus bahwa Kristus bukan bertabiat satu (Aleksandria) atau bertabiat dua (Anthiokia), melainkan Ia bertabiat dua dalam satu oknum. Kedua tabiat ini tidak bercampur, tidak berubah, tidak terbagi, dan tidak terpisah.

Dalam pembahasan mengenai Gereja Ortodoks-Timur, kita semakin melihat perbedaan antara Gereja Kristen bagian barat dan timur. Di bagian barat, gereja lebih mementingkan perbuatan seperti amal dan organisasi gereja. Di bagian timur, gereja lebih mementingkan perenungan baik hal mistik maupun dogma. Gereja timur hampir tak berubah lagi baik secara lahiriah maupun batiniah. Sedang Gereja barat terus berkembang dalam susunannya maupun ajarannya. Di sini gereja Timur menyebut dirinya Gereja Ortodoks atau Gereja Katolik Gerika.

Hal yang ingin saya cermati di sini ialah pada waktu lalu seperti yang dibahas di dalam buku bahwa gereja mendapat banyak tantangan dan hambatan serta berbagai hal yang mengganggu perjalanan gereja. Pertanyaannya jikalau memang dalam perjalanannya gereja telah mendapatkan banyak permasalahan, mengapa sampai saat ini pun gereja masih banyak mendapat hambatan? Apakah hambatan yang ada sampai saat ini juga ada relevansinya dengan hambatan yang dulu belum terselesaikan ? Hal ini saya tanyakan karena saya melihat bahwa gereja masih sangat sulit menangani masalah yang ada, padahal di masa lalu gereja sudah memiliki pengalaman yang baik dalam menjawab segala permasalahan yang ada.

Sumber :

[1] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1986), 30

[2] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 47

[3] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 49

[4] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 51

Gereja Protestan di Perancis dan Jerman Sampai Tahun 1700

0

Laporan Baca oleh Silviany Theresia Santoso

Identitas Buku

Judul                           : Sejarah Gereja

Pengarang                  : Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar

Penerbit                      : BPK Gunung Mulia

Jumlah halaman        : (hlm. 219-244 ) 26 halaman

Gereja Protestan di Perancis dan Jerman Sampai Tahun 1700

Gereja dan Theologia Calvinis di Belanda berkembang dengan indah pada abad ke-XVII, sehingga Gereja Calvinis Belanda menjadi pusat sejarah protestanisme pada zaman itu. Namun, keadaan Gereja Calvinis di Perancis amat malang sebab mereka dilarang berorganisasi secara politik oleh Louis XIII. Pada saat raja Louis XIV berkuasa, Perancis menjadi negara yang paling berkuasa di Eropa. Dengan ini, raja menghendaki satu gereja negara yang beragama Katolik Roma.[1]

Di lain sisi, Melanchton berpendapat bahwa ajaran Luther perlu ditambahkan. Melanchton dan pengikutnya yang disebut Philips mulai cenderung pada pandangan perjamuan Calvin. Dengan ini timbulah pertikaian antara golongan yang mengaku Lutheran sejati dengan golongan Philips. Hingga akhirnya kaum Lutheranisme sejati menang dan menetapkan theologia Luther yang asli. Hal ini mengakibatkan Gereja Lutheran dengan Gereja Calvinis terputus. Namun ajaran Lutheran mulai surut ketika ajaran ortodoks dirumuskan dalam Formula Concordiae. Dengan ini lahirlah aliran mistik. Dengan demikian theologia Lutheran menyimpang dari Sola Fide (oleh iman saja).[2]

Gereja Katolik Roma sejak Trente Sampai Tahun 1700

Gereja K.R. yang awalnya di bawah pimpinan Spanyol menolak ajaran Injil tentang keselamatan oleh rahmat saja. Semangat Yesuit ini menuju kepada pengembalian kuasa Gereja yang lama. Di bawah pimpinan Perancis, terjadi bentrokan antara paus dan raja. Gerakan yang terpenting dalam Gereja K.R. adalah Jansenisme, di mana Jansenius uskup Belgia berusaha mengembalikan Gereja pada ajaran Agustinus dan kesalehan Kristen yang sejati. Tetapi atas usulan Yesuit, Jansenisme dilarang oleh paus pada tahun 1653. Selain itu orang Jansenis lainnya yaitu Pascal berusaha untuk menguraikan relasi antara Tuhan dengan manusia. ajarannya bukan bersifat K.R. melainkan injili. Pandangannya ini kemudian berpengaruh besar bukan dalam Gereja K.R. tetapi dalam theologia Kristen. Berikutnya di bawah pimpinan Yesuit, keadaan Gereja K.R. kehidupan rohaninya dimatikan.  Keadaan ini tentu lebih buruk dibanding dengan masa Reformasi.

Inggris Pada Abad ke-XVII

    Kaum Puritan yang mengindikasikan ajaran dan pengakuannya kepada Calvinis bergabung dengan tabiat Angelsaks. Mereka disebut juga sebagai Presbiterian sebab mereka melawan pemerintah Gereja dan uskup-uskup sambil menuntut agar gereja dipimpin oleh presbiter. Pada perkembangannya timbullah golongan independen yaitu gerakan agama baru yang berpengaruh besar terhadap politik di Inggris. Mereka mengutamakan hak masing-masing jemaat. Mereka bersama bersatu untuk menentang paksaan dari gereja baik itu dari uskup maupun sinode. Pada akhirnya, aliran independen terpecah-pecah. Theologia gereja Inggris kurang memperhatikan persoalan dogmatik, perkara praktiklah yang lebih dipentingkan. Kebanyakan penduduk Inggris tetap setia kepada Gereja-negara Anglikan.[3]

Misi Katolik Roma dan Kolonisasi di Amerika pada Abad ke-XVI dan XVII

Semenjak penemuan Amerika oleh Columbus, datanglah pendatang yang bermaksud untuk mengembangkan agama Kristen. Salah seorang misionaris Yesuit yaitu Xaverius meletakkan dasar untuk Gereja K.R.  di India, Malaka, Maluku, dan Jepang. Protestanisme pun akhirnya juga berkembang keluar Eropa. Dalam pembahasan berikutnya, tiap-tiap negara mengutamakan aliran agamanya sendiri, tetapi lambat laun semua penduduk bebas secara agama dan kata hati. Dengan ini terjadilah perpisahan mutlak antara negara dan Gereja.[4] Oleh kolonisasi golongan Eropa yang di Protestan di Amerika, protestanisme mencapai perkembangan dan kedudukan yang penting di seluruh dunia.

Perkabaran Injil di Indonesia dari tahun 1500-1800

Berawal dari Bangsa Portugis, Vasco da Gama mulai mengunjungi kepulauan rempah-rempah di Maluku untuk pertama kali. Xaverius pun juga mengadakan misionarisnya dengan membabtiskan beribu-ribu orang. Namun caranya terlampau dangkal. Dengan ini orang masuk Kristen hanya agar mendapatkan perlindungan dari Bangsa Portugis.  Ketika Protestan yang berkuasa oleh sebab posisi Portugis yang digantikan oleh Belanda, membuat semua orang berpindah dari Katolik Roma masuk ke Protestan. Pada perkembangannya, VOC melakukan usaha Perkabaran Injil. Namun hal ini memperoleh banyak rintangan. Gereja tak bebas dalam mengatur organisasinya sebab Gereja di bawah pengawasan dan perintah VOC.[5] Meskipun begitu, usaha perkabaran Injil ini mendapat perhatian dari banyak orang sehingga mereka masuk Kristen.

 Pertanyaan yang ingin saya ajukan berkenaan dengan dampak misi perkabaran Injil yang dilakukan baik oleh Katolik Roma maupun kaum Protestan. Kita mengetahui bahwa pada saat itu agama di Indonesia tergantung pada siapa yang memiliki kuasa (menjajah Indonesia).  Maksud saya jika Portugis yang berkuasa maka Katolik menjadi agama yang paling diikuti banyak masyarakat, kemudian saat Belanda menggeser Portugis, maka Kristen Protestan pun menggeser Katolik, lalu bagaimana masyarakat Indonesia saat itu dapat mempertahankan keyakinannya sendiri (yang tanpa disertai rasa terpaksa) jika kebanyakan dari mereka memeluk agama atas dasar mendapatkan perlindungan dari penguasa dan agar tidak dihukum oleh mereka ?

Sumber :

[1] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1986), 218

[2] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 222

[3] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 231

[4] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 234

[5] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, 242

Theologia Abad Pertengahan dan Situasi Reformasi Setelahnya

0

Laporan Baca oleh Silviany Theresia Santoso

Identitas Buku

Judul                           : Sejarah Gereja

Pengarang                  : Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar

Penerbit                      : BPK Gunung Mulia

Jumlah halaman        : (hlm. 101-146)  46 halaman

Theologia Abad Pertengahan dan Situasi Reformasi Setelahnya

Pada abad pertengahan, Bangsa-Bangsa di Eropa Barat dan Utara hanya menerima begitu saja segala ajaran theologia gereja lama. Namun lambat laun muncullah kaum-kaum terpelajar yang menuntut theologia di sekolah-sekolah tinggi atau universitas. Ilmu yang mereka pelajari disebut sebagai ilmu scholastik. Ilmu ini tidak bermaksud membuat sebuah kepercayaan atau aliran yang baru, melainkan memikirkan dan mengkritisi kembali segala ajaran theologia lama yang diwarisinya. Mereka berusaha membuktikan bahwa Allah dapat dijangkau oleh akal budi manusia. Ada beberapa ahli skolastik ternama, yaitu : (1) Anselmus, yang memiliki semboyan “Aku percaya supaya aku mengerti”, di mana ia ingin membuktikan adannya Allah. (2) Abelardus, yang memiliki semboyan “lebih dulu aku harus mengerti, barulah aku percaya”, di mana dalam hal ini akal budi yang dipakai untuk menilai iman. Dengan ini, Bernhard dari Clairvaux melawan ajarannya. Scholastik berjaya pada abad ke-XIII, di mana kuasa gereja juga memuncak. (3) Pada perkembangannya, ajaran Thomas dari Aquino menjadi puncak usaha menyesuaikan akal budi dengan pernyataan, Aristoteles dengan Agustinus. Pada tahun 1879, ajarannya disahkan sebagai theologia resmi Gereja Katolik Roma. (4) Namun, Duns Scotus kemudian mengkritik ajaran Thomas. Ia mengatakan bahwa tak mungkin akal budi manusia dapat menjangkau Allah yang tak terhingga. (5) Hingga akhirnya akal budi dibongkar seluruhnya oleh Occam, seorang ahli scholastik yang beranggapan bahwa manusia hanya dapat bergantung kepada kehendak Tuhan saja. Di waktu kemudian, scholastik ditolak oleh ahli renaissance dan humanisme.

Pada abad pertengahan, jenis kesalehan baru muncul dan berkembang. Kesalehan itu diawali oleh mistik Kristen yang didasarkan atas Alkitab dan Agustinus, terkhususnya pandangan filsafat platonisme. Hal yang dianggap paling penting bukanlah iman, tetapi usaha manusia agar dipenuhi oleh zat dari atas. Dengan demikian manusia dapat mencapai kebahagiaannya. Pada perkembangannya, jenis-jenis gerakan kesalehan kemudian hanya berpengaruh di sebagian kecil dari jemaat Kristen. Orang Kristen akhirnya takluk kepada pimpinan dan kuasa Gereja. Sejak abad ke XIII, Gereja Roma mengakui tujuh sakramen dalam menyambut rahmat dan keselamatan. Objek iman bagi orang Kristen saat itu bukanlah hanya kepada Allah dan Yesus Kristus. Melainkan juga kepada Maria yang disembahnya sebagai dewi. Iman mereka dilaksanakan dengan memberikan amalan berupa memberi sedekah. Dengan ini, penghapusan siksa (indulgensia) juga dilaksanakan. Namun praktik indulgensia ini menyimpang ketika penghapusan diwujudkan dalam jual-beli dengan uang.

Seorang yang bernama Luther, akhirnya disini menampakkan begitu besar perannya dalam mengatasi segala persoalan gereja. Berawal dari nazarnya, ia dipakai Tuhan untuk membuat sebuah perubahan besar bagi jemaat Kristen. Namun, Luther juga sempat membenci Tuhan ketika ia merasa bahwa pada akhirnya semua manusia akan dihukum sesuai dengan perbuatannya. Hingga akhirnya, Luther menjawab sendiri ketakutannya, dengan perkataan yang terdapat dalam Roma 1 : 17. Ia mulai sadar bahwa Allah memberikan anugerah keselamatan dan hidup yang kekal bagi manusia yang harus disambut dengan iman. Ia sadar bahwa hanya Firman Tuhan saja yang dapat membebaskan manusia. Dengan ini, scholastik dan Aristoteles semakin ditolak. Luther pun melawan penghapusan surat indulgensia yang diperjual-belikan. Dengan adanya perdebatan, Luther dianggap sebagai penyesat. Namun, ia beruntung karena ia menyadari bahwa hanya Firman Tuhan (Alkitab) saja yang harus menjadi ukuran dan patokan, bukan paus atau konsili. Pada akhirnya, Luther memutuskan hubungan dengan Gereja Roma dan orang mulai sadar bahwa sejarah gereja tidak tergantung pada Roma. Dari Luther, gereja mendapatkan kebenaran injilnya kembali.

Segala perjuangan Luther diancam oleh bahaya-bahaya baru di kemudian hari, di mana terdapat huru-hara di wittenberg, perceraian dengan golongan fanatik, petani, dan juga Erasmus. Namun Luther terlihat kurang radikal. ia kurang mengerti bahwa Injil yang ditemuinya itu bersifat theokratis. Sehingga ia tak sanggup melawan gereja Roma secukupnya. Tugas ini kemudian dilaksanakan oleh Calvinisme. Meski demikian, Luther tetap menjadi pembaru gereja yang pertama dan termahsyur.[1] Jauh pada akhirnya, reformasi makin meluas dari pihak yang bertentangan yaitu Protestan (memihak Luther) dan Katolik Roma. Keduanya menyelesaikan pertikaian dengan bertempur. Pihak Katolik Roma akhirnya menang. Dengan ini gerakan protestan tak sempat meluas lagi. Dua puluh tahun kemudian, barulah Protestanisme Calvinis berkembang oleh pekerjaan Calvin.

Pertanyaan yang terdapat dalam benak saya adalah mengenai indulgensi atau penghapusan siksaan. Kita telah mengetahui bahwa Gereja Katolik membenarkan bahwa gereja diberi kuasa oleh Yesus untuk memberikan indulgensi sampai saat ini. Mereka mengimani bahwa hal ini benar dan yang ditentang oleh Luther hanyalah “praktik” yang dahulu disalahgunakan. Sebagai umat Kristen, kita pun juga berada di bawah Firman Tuhan, namun kita memiliki pandangan yang jauh berbeda dengan mereka. Lalu bagaimana kita menyikapi adanya sisi pemahaman yang berbeda ini?

Sumber :

[1] Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H.Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1986), 141

Mengembangkan Idea dari  Kepribadian Bukan Manusia: Apakah Moral Standing Cukup?

0

Nama    : Silviany Theresia Santoso

NIM       : 712015048

REVIEW ARTIKEL PENELITIAN

Judul Mengembangkan Idea dari  Kepribadian Bukan Manusia:

Apakah Moral Standing  Cukup?

Penulis Dorothy I. Riddle
Tahun 2014
Jurnal Jurnal Evolusi dan Teknologi
Volume dan Hal Vol. 24 Edisi 3 , Hal 4-19
Reviewer Silviany Theresia Santoso
Diakses Tanggal 7 Juli 2016

Latar Belakang Dorothy I. Riddle adalah seorang Konsultan Layanan-Pertumbuhan Inc, Gibsons, BC Canada. Di dalam jurnalnya mengenai evolusi dan teknologi ini, ia mengkaji lebih dalam mengenai kepribadian bukan manusia. Baginya, kebaikan hidup yang diperoleh hewan bukan manusia tidak hanya dikarenakan itu adalah hak mereka, namun juga bagian dari kewajiban manusia sebagai agen moral yang harus melindungi dan menghargai mereka. Penulis menyadari adanya banyak perlakuan buruk yang kian meningkat diberikan manusia terhadap hewan bukan manusia. Hal ini yang mendasari penulis untuk setidaknya bersuara terhadap khalayak bahwa bukan manusia juga perlu diperlakukan secara hormat. Di sisi lain, penulis menggali akan adanya moral standing yang turut menjadi bahan utama yang dibicarakan.
Tujuan Penelitian Penulis melakukan penelitian ini untuk menunjukkan adanya fakta penting yang selama ini dianggap sebagai hal yang sepele, yaitu adanya perlakuan moral yang harus dapat diubah dari pihak manusia terhadap hewan bukan manusia. Manusia harus mulai memiliki hak klaim (pembatasan akan tindakan manusia terhadap hewan) agar kehidupan hewan bukan manusia lebih dihargai dan diperlakukan lebih baik. Penulis ingin membuka secara terang-terang adanya kehidupan hewan bukan manusia yang telah direnggut oleh manusia hanya untuk kepentingan manusia sendiri. Dengan penelitian yang dilakukan, penulis berharap besar agar kita hidup tidak hanya memikirkan diri kita sendiri melainkan juga mempertimbangkan segala ciptaan Tuhan di sekitar kita yang sebenarnya juga memiliki hak hidup sama seperti kita. Penulis menekankan bahwa moral standing tidaklah cukup, dibutuhkan adanya perilaku moral yang konsisten dan melampaui segala stereotip dan prasangka dengan menghargai adanya perbedaan antara kita dengan ciptaan yang lain.
Subjek Penelitian Ketika saya melihat jurnal, tercantum banyak sekali catatan perut di sana. Dengan ini penulis terlihat memakai beberapa sumber-sumber buku yang menunjang dan mendukung akan penelitian secara umum mengenai kepribadian, moral standing, hak klaim, berbagai pernyataan para penulis yang mengungkapkan kehidupan hewan secara mendetail, dan hubungan manusia dengan hewan bukan manusia secara khususnya.
Assesment Data Penelitian ini sebenarnya mencakup hal yang kompleks. Akan tetapi, penulis ingin lebih menegaskan hal yang mendasar yang sangat penting yaitu untuk mengintrospeksi diri kita akan cara kita dalam memperlakukan bukan manusia. Oleh sebab itu, penulis mengumpulkan serangkaian data yang mendukung tujuan penulisannya. Berbagai data penelitian kehidupan hewan manusia seperti simpanse, gajah, lumba-lumba, burung gagak, dan sebagainya dari berbagai sumber resmi dikumpulkannya demi membuat pembaca menyetujui bahwa hewan bukan manusia memiliki kesadaran diri, kemampuan kognitif, dan melakukan hubungan sosial. Melalui ini penulis menunjukan bahwa hewan bukan manusia pun juga memiliki hak yang sama dengan kita yaitu memperoleh kebebasan dari kekerasan, mendapatkan perlakuan yang adil, dan memberlangsungkan kehidupannya tanpa gangguan dari kepentingan manusia.
Metode Penelitian Metode yang dipakai penulis dalam penelitian ini yaitu sebuah metode observasi tidak langsung dengan menggunakan sumber-sumber terpercaya dari waktu ke waktu yang memiliki hasil penelitian dengan pembahasan yang searah dengan penelitiannya akan perkembangan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan bukan manusia. Hal ini kemudian dikaitkan dengan berbagai fakta yang terjadi saat itu seperti kabar penyembelihan ribuan gajah hutan. Sehingga dari semua observasi ini, ia menganalisis data penelitiannya secara induktif di mana dari semua sampel penelitian ditarik sebuah kesimpulan dan berupaya mengargumentasikan dengan mencari jalan keluar atasnya.
Langkah-Langkah Penelitian Pertama-tama, penulis mengamati akan perlunya moral standing untuk manusia sebagai agen moral dalam kewajibannya memperlakukan hewan bukan manusia dengan baik. Kedua, penulis mencoba memperlihatkan adanya enam masalah dalam menentukan kepribadian hewan bukan manusia. Ketiga, penulis menunjukkan berbagai dukungan akan hak hewan bukan manusia yang harus kita hargai dari beberapa sumber, dengan ini penulis juga menyatakan argumennya selaku konsultan layanan pertumbuhan dengan menuangkan hak klaim dan beberapa hak yang harus dimiliki oleh hewan bukan manusia. Keempat, penulis menunjukkan fakta bahwa sebagian besar manusia gagal sebagai agen moral, banyak hewan yang diburu dan diperalat hanya untuk kepentingan manusia. Kelima, penulis menyadarkan kita bahwa ternyata moral standing tidaklah cukup untuk membuat perubahan yang konsisten akan sikap manusia. Kita membutuhkan perjalanan yang panjang untuk konsisten dalam perilaku moral kita dengan merangkul era baru menghargai sesama makhluk hidup.
Hasil Penelitian Jika suatu penelitian terhadap hewan bukan manusia dirasa harus dilakukan atas kepentingan dan kebaikan hewan sendiri maka di sinilah hewan bukan manusia memiliki moral standing. Sebagai agen moral, manusia tidak diperbolehkan untuk melawan kepentingan hewan dan menganiaya hewan. Manusia haruslah melakukan kewajiban moralnya. Adanya aturan yang tegas mengenai hak klaim terhadap hewan bukan manusia, membuat kita mengerti sejauh mana batas tindakan kita diperbolehkan dalam memperlakukan  hewan bukan manusia. Ada enam persoalan mendasar yang membuat kita berkaca sambai batas mana hak klaim itu tidak dilanggar :

1.      Manusia dalam kenyataannya cenderung menganggap bahwa dirinya paling unik, dengan kemampuan kognitif yang kompleks. Namun para peneliti mencoba memberikan fakta baru bahwa ada beberapa hewan juga cerdas bahkan mengalahkan kecerdasan manusia di bidang tertentu. Hal ini diteliti dengan mengacu pada tiga faktor yaitu adanya kesadaran diri, kemampuan kognitif, dan hubungan sosial yang dimiliki oleh hewan.

2.      Manusia dalam kenyataannya sering mengeksploitasi hewan demi kepentingannya pribadi. Padahal secara hukum dan moral yang berlaku manusia tahu bahwa ia tidak memiliki kebebasan mutlak dalam menguasai moral standing hewan. Hal ini tentu sangat memprihatinkan, melihat adanya dampak negatif  yang ditimbulkan kemudian.

3.      Manusia dalam kenyataannya sering menilai hewan dengan tolak ukur manusia sendiri. Dalam jurnal ini penulis dalam penelitiannya mengistimewakan adanya hewan-hewan yang dapat menggunakan tangan dan kakinya layaknya manusia.

4.      Dalam menangani hal ini ada tiga hak klaim dasar untuk hewan bukan manusia yaitu : hak untuk hidup, hak atas perlindungan kebebasan individu, dan larangan penyiksaan.

5.      Dengan keadaan ini kita tidak bisa lagi menganggap bahwa kepentingan manusia yang paling penting. Hal yang harus didahulukan oleh manusia adalah kepentingan bersama : yang tidak melukai kaum hewan dan tidak merugikan manusia.

6.      Mengenai perilaku moral, penetapan moral standing akan mengakibatkan adanya rasa kewajiban moral dari pihak manusia terhadap hewan-hewan bukan manusia dengan cara menghormati hak mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri. Namun hal ini tidak sesederhana ini. Pengamatan yang dilakukan selama ini menunjukkan bahwa penetapan aturan dan moral yang berlaku belum dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi. Sebagai contoh, masalah hak antara laki-laki dan perempuan saja sampai saat ini belum terselesaikan. Malahan, kekerasan terhadap perempuan menjadi persoalan nomor satu pelanggaran HAM di seluruh dunia.

 

Empat dinamika sikap manusia yang sering muncul terhadap hewan bukan manusia, yaitu :

1.      Dismissiveness : sikap kurangnya perhatian pada hewan dan menganggap mereka sepele. Contoh : lumba-lumba yang digunakan oleh militer AS, di mana tidak memerhatikan bahwa tindakan mereka adalah kekerasan.

2.      Stereotip : hewan digunakan untuk kepentingan manusia. Contoh : anjing digunakan sebagai pemandu tunanetra tanpa melihat apakah anjing itu “mau” dijadikan sebagai pemandu.

3.      Perantaraan : hewan diperalat dari sisi kegunaan. Contoh : gajah dipisahkan dari keluarganya dan dilatih untuk menjadi gajah sirkus

4.      Antroposentrisme lunak : manusia mengatakan bahwa dirinya penuh kasih dalam memperlakukan hewan, pada kenyataannya hewan dipaksa untuk menuruti keinginan manusia.

 

Dengan menyadari akan tindakan kita yang buruk, kita memerlukan perubahan dan menyadari akan kewajiban moral kita terhadap kepribadian bukan manusia dengan moral standing. Kita juga membutuhkan pendidikan, pola hidup baru, dan orang-orang yang mau berkomitmen dalam membuat perubahan. Undang-undang baru pun dibutuhan untuk bukan hanya mengatur kebaikan manusia tetapi juga mengatur kebaikan bukan manusia (non human).  Namun yang ingin ditekankan penulis di sini adalah, hasil dari penelitiannya yang mengatakan bahwa semua hal ini belum cukup, moral standing perlu namun belum cukup. Hal yang paling penting adalah kita harus melampaui stereotip dan prasangka dengan merangkul era baru menghargai sesama makhluk hidup. Hal ini tentu membutuhkan proses yang panjang, dimulai dari diri kita sendiri.

 

Interpretasi Penelitian yang dilakukan oleh penulis tampak lebih memperlihatkan sisi manusia yang kejam terhadap hewan bukan manusia daripada sebaliknya. Penulis meyakinkan kita untuk dapat mengalami perubahan yang baik dalam perilaku moral kita terhadap hewan bukan manusia. Hal ini unik, jika kita melihat baik-baik cara hidup kita selama ini tentu sangat kontradiktif. Penulis mencoba meyakinkan bahwa tidak ada kata terlambat untuk menciptakan idea akan kehidupan yang lebih baik ini. Itulah mengapa baginya moral standing yang selama ini ada belumlah cukup. Sebab kunci utama yang dapat merubah segala sesuatu adalah idea dan perilaku moral kita yang konsisten dalam menghargai dan menghormati hewan-hewan yang memiliki hak klaim dasar.
Kelebihan Penelitian ini begitu membantu kita untuk dapat menyadari akan pentingnya beberapa hal yaitu mengetahui bahwa ada hak klaim yang mengatur sejauh mana batas tindakan kita dalam memperlakukan hewan, mengetahui kepribadian beberapa hewan seperti simpanse, gajah, dan paus memiliki kesadaran diri, kemampuan kognitif, dan hubungan sosial di mana hal ini terlihat begitu istimewa, menyadari bahwa secara tidak langsung kita telah merenggut kehidupan hewan dari  hak-hak yang ia miliki, serta mengetahui apa yang harus kita lakukan ke depannya dalam mengembangkan pengetahuan ini dan merubah perilaku moral kita menjadi lebih baik terhadap sesama makhluk hidup di sekitar kita.
Kelemahan Penelitian ini lebih memperlihatkan bagaimana kekurangan manusia dalam memperlakukan hewan bukan manusia. Hal ini adalah fakta utama yang diperbincangkan. Hanya sebagian kecil manusia saja yang mau untuk menyuarakan kepeduliannya terhadap kehidupan hewan, beberapa di antaranya menjadi narasumber dari penelitian yang ia lakukan. Namun di sinilah terlihat kekurangan penulis. Ia melihat sisi negatif pada manusia dan sisi positif pada bukan manusia. Hal ini tentu perlu dikaji lebih lanjut, melihat bahwa sebagian besar manusia yang memelihara hewan dapat menjadi sahabat bahkan keluarga yang baik bagi hewan bukan manusia.
Yang Perlu Ditambahkan

Hal yang bisa dijadikan referensi tambahan adalah mengenai sisi baik manusia yang dapat menciptakan perilaku moral yang baik terhadap bukan manusia. Manusia tetap memberikan kasih sayangnya dengan merawat dan melatih hewan yang ia pelihara bukan demi tujuan pribadi, namun justru karena melihat adanya potensi dan kemampuan dari hewan yang ia pelihara. Sehingga manusia itu mengembangkan potensi hewan tersebut secara bertahap dan tidak memaksa. Dengan demikian, kita dapat belajar banyak dari moral standing yang dimiliki hewan: jauh lebih patuh dan  mengasihi makhluk hidup yang lain yaitu kita.  Kita tidak menyadari bahwa sebagian besar manusia memiliki hubungan yang erat dengan hewan-hewan bukan manusia. Hanya saja mereka memiliki cara yang berbeda-beda namun tetap memperlakukan hewan bukan manusia dengan baik. Sikap ini tentu dapat tetap dipertahankan sebagai contoh yang baik.

Sikap mempertahankan apa yang sudah baik ini tidaklah terlalu radikal dibanding dengan penekanan perilaku moral yang harus berubah menjadi lebih baik seakan-akan sikap kita sedikit benarnya selama ini. Dengan adanya dua sudut pandang ini, pengetahuan kita dapat semakin luas dalam mengembangkan perilaku moral yang baik terhadap sesama makhluk hidup.

 

Injil Yohanes dan Kitab Wahyu kepada Yohanes

0

Laporan Baca oleh Silviany Theresia Santoso

Identitas Buku

Judul                           : Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru

Pengarang                  : Dr. C. Groenen OFM

Penerbit                      : Kanisius

Jumlah halaman        : (hlm. 143-173, 380-407  ) 58  halaman

Injil Yohanes dan Kitab Wahyu kepada Yohanes

Yohanes sebagai Injil keempat memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan tiga Injil pendahulunya yang lain. Dalam penulisan Injil Yohanes, nada dan suasananya terlihat sangat berbeda dengan ketiga Injil lainnya. Komunitas yang dituju oleh Yohanes pun terlihat mengasingkan diri, sidang pembacanya merupakan generasi umat Kristen yang kedua atau ketiga, berbahasa Yunani, orang Kristen Yahudi perantauan, dan memiliki kemiripan dengan jemaat Qumran.

Situasi yang diperlihatkan saat itu adalah adanya pertikaian antara pengikut Yohanes dengan Yohanes Pembabtis mengenai kenabian dan pertikaian antara pengikut Yohanes dengan orang-orang Yahudi mengenai kemesiasan Yesus. Dengan pertikaian ini, orang-orang Kristen semakin terkucil dari sinagoga dan malah dibunuh.[1] Situasi inilah yang menyebabkan sidang pembaca Yohanes membentuk jemaat sendiri.

Penulis Injil Yohanes ini seringkali disamakan dengan “murid yang dikasihi Yesus”. Namun demikian penulis sulit untuk diidentifikasikan sebagai Yohanes rasul Yesus. Hal ini dikarenakan tidak mungkin bagi seorang nelayan memiliki pengetahuan akan bahasa Yunani yang tinggi dan dapat mengelola serta menafsirkan apa yang didengar dan dilihatnya dengan begitu bebas. Hal ini membuktikan bahwa penulis bukanlah saksi mata pertama melainkan penulis meneruskan saja tradisi yang ada.

Injil Yohanes ini kerap disebut sebagai “Injil Rohani” dan penulisnya disebut “Sang Teolog”. Sebagian besar isi Injil ini berupa wejangan, sedang lainnya berupa cerita mukjizat. Selain itu ada beberapa isi yang bermakna ganda, seperti misalnya kata penutup yang disampaikan oleh Yohanes.

Ada beberapa perbedaan antara Injil Yohanes dengan Injil Sinoptik lainnya, yaitu mengenai istilah Kerajaan Allah yang ditekankan oleh ketiga Injil Sinoptik sementara Yohanes menekankan akan Yesus sendiri  dan alur riwayat Yesus yang diceritakan berbeda. Penyusunan Injil ini yaitu pada tahun 100 M. Hal yang diperlihatkan dalam Injil Yohanes ialah mengenai “saat Yesus”, yaitu saat kematianNya yang serentak dengan permuliaan Yesus dan penyelesaian seluruh karyaNya.[2] Selain itu, Yohanes juga membela Yesus sebagai Anak Tunggal Allah (Mesias sejati).

Beralih pada Kitab Wahyu, kita melihat bahwa seringkali Wahyu dikaitkan dengan tulisan apokaliptik yang memiliki ciri-ciri : ingin tahu tentang hal yang tersembunyi, perspektifnya yang dualistis, dan pandangan pesimstis yang diimbangi dengan optimisme. Di dalam Kitab Wahyu, ada beberapa ciri khas yang  ditampilkan yaitu mengenai lambang, angka, warna, simbol, makhluk-makhluk yang berperan di dalamnya, dan sebagainya.

Kita mengetahui bahwa nyatanya Kitab Wahyu bukanlah tulisan yang bergenre apokaliptik secara keseluruhan. Kitab Wahyu berada di antara nubuat (yang menerangkan tentang masa kini) dan apokaliptik (yang berfokus pada masa depan). Kita pun mendapati ada beberapa perbedaan antara tulisan Kitab Wahyu dengan apokaliptik, yaitu : Wahyu bukan suatu pseudepigraf, persoalan peranan yang dipegang Yesus Kristus dalam Wahyu, Kitab Wahyu yang mengajak orang beriman untuk bertobat sedangkan apokaliptik tidak, dan Kitab Wahyu tidak sampai menentukan saat dan hari akhir zaman seperti halnya apokaliptik.

Penulis Kitab Wahyu sendiri dijelaskan bukanlah rasul Yohanes, melainkan seorang nabi Kristen yang berkarya di Asia Depan, keturunan Yahudi dan tidak menyerap kebudayaan Yunani. Kitab Wahyu ini ditujukan pada tujuh jemaat. Kemungkinan penulisannya sebelum tahun 90 M. Jalan pemikiran penulis Kitab Wahyu berupa “spiral”, yaitu yang berputar-putar maju. Maksud penulisannya yaitu untuk mengarahkan perhatian jemaat kepada masa mendatang, ke zaman terakhir dan akhir zaman guna memberi hati kepada umat, agar penuh kepercayaan kepada Allah dan Kristus bertahan dalam kesesakan dan penderitaan sekarang.[3]

Tanggapan saya kali ini yaitu terhadap Injil Yohanes. Walaupun Injil Yohanes mewartakan beberapa hal yang sangat berbeda dengan ketiga Injil Sinoptik lainnya namun kita harus tetap memperhatikan bahwa Yohanes bukanlah laporan, melainkan pemberitaan iman kepercayaan Kristen. Konteks dan situasi penulisan pun berbeda dengan ketiga Injil lainnya, inilah yang menyebabkan Injil ini begitu berbeda. Dengan ini Injil Yohanes haruslah tetap diterima sebagai hal yang utuh dan melengkapi ketiga Injil lainnya.

Sumber :

[1] C. Groenen OFM, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta : Kanisius, 2014), 146

[2] C. Groenen OFM, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, 159

[3] C. Groenen OFM, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, 388